Pelabuhan Perikanan Gebion Medan Belawan Sumut Tak Terjamah Hukum Perusakan Trubu Karang Merusak Habitat Laut Makin Menggila Aparat Terkait Diam Saja Hukum ,Se olah Tak Tahu
Medan Belawan,SRI
Makin Mejamur nya pukat Trawl /Pukat Harimau alat tangkap ini di selat malaka karna pembiaran Oleh Aparat Tetkait ,membuat cukong cukong di gebion medan belawan menambah Kapal nya Trawl /pukat Harimau ,untuk Beroprasi di laut selat malaka khusus di per air laut Belawan ,Dan mematikan Pencarian nelayan Tradisional umum nya ,karna sarang benih ikan udah di kikis Habis oleh Pukat Trawl, Habitat Laut Rusak ,udah bertahun Tahun ini di biarkan Oleh Aparat Terkait ,di duga Ini ada permainan oknum tertentu ,Agar usaha yang jelas jelas di larang Tetap di Laku kan ,Berbagai Elemen LSM,Oramas Udah Pernah Berdemo ,Tapi Kandas Di Tengah Jalan,
Belawan, sumut,yang Pukat Trawl /pukat Harimau Bebas beroprasi dan tidak ada larangan dari dinas Perikanan Baik Aparat Terkait,
Pelang ini Haya pajangan saja Dan Tak ada penindakan di Lapangan,Semut Di seberang Lautan Nampak Gajah Di Pelupuk Mata Tidak kelihatan,Masing masing Gudang Di Gebion Memiliki pukat Trawl, Dan Udah Ada oknum Tertentu Yang meng kondinir supaya ini Tidak di Sorot Oleh Media dan Muncul Kepermukaan,sejumlah Aktivis pencinta Lingkunan Laut Udah Di Bungkus Rapi jangan Ada yang komentar ,Alisa bulanan ,Agar Aktivitas Trawl Berjalan mulus,Begitu juga ormas yang Lain juga udah di suap jangan komentar ,termauk juga Media yang Ada,tetap bungkam,Sebelum Nya bayak ,yang komentar tetang Laut Belawan Gebion ,umum nya selat malaka kini tak mau komentar yang Bah kan media di bunkam dan di cari cari kesalahan nya supaya tak bicara dan tak terbit media di laga satu sama lain Oleh Malpia Trawl udah Berjalan sapai puluhan tahun sebagai kordi ator,dikantor media belawan,ini lah komentar sebelum nya ,kini tiada lagi,
Menurut Aktivis Nelayan Tradisional (skala kecil) Rahman Gafiqi bahwa alat tangkap ikan cantrang tidak ada bedanya dengan jaring trawl, biasa disebut pukat harimau. Tahun 1980 pemerintah mengeluarkan, Keputusan Presiden No 39 Tahun 1980 yang menginstruksikan untuk melarang penggunaan jaring trawl.
“Bercerita tentang laut saat ini, dari mulai tahun 1981, itu telah ada Kepres No 39 Tahun 1980 tentang Peralangan alat tangkap trawl , semenjak tahun itu ada sebuah perubahan pasti bagi nelayan kecil itu sendiri, dari mulai tahun 80an itu dilaranglah pukat pukat trawl ataupun dahulu dibilang pukat harimau, setelah berkembangnya dimasa zaman ,setelah lambat laun, ada sebuah kebijakan yang dilakukan pemerintah saat itu dimasa rezim pak Suharto, itu mengakomodir semua alat alat tangkap yang sejenis trawl itu dibuat namanya PI(pukat tangkap ikan)” ujar Rahman Gafiqi
Masih Rahman, Sekitar tahun 1994 sampai 1996 terjadi kisruh besar, polemik di Selat Malaka ini, antara beberapa nelayan yang mengklaim bahwasanya mereka itu pengguna alat tangkap yang tak ramah lingkungan dengan nelayan berskala besar yang domainnya atau mayoritasnya adalah pengusaha pengusaha bermata sipit, indikasinya mereka memutar sebuah trik(strategi) memberikan alat tangkap yang hampir mirip penggunaannya seperti trawl yaitu pukat layang tarik dua, trawl mini, gerandong, dan beberapa jenis alat tangkap lainnya.
“Sekira dari mulai tahun 1996 lah, terus trawl trawl besar ini tidak tersentuh oleh aparat penegak hukum.” Ujar Rahman Gafiqi.
Dengan argumentasi banyaknya nelayan Sumatera Utara ini juga pengguna alat tangkap salah, terjadilah itu sebuah aturan di tahun 2004, dimana pemerintah menerbitkan sebuah undang-undang no 31 tahun 2004, yang mana di undang undang itu dibentuk pertama badan peradilan perikanan, dibentuk badan pengawasan perikanan agar penerapan hukum dilaut itu terutama bagi para nelayan itu ada payung hukum yang pasti.
“Semenjak tahun itu mungkin kurang kita katakan secara umum kurang begitu signifikan melakukan penerapannya, kemudian dirubahlah (amandemen) menjadi undang-undang 45 tahun 2009, didalam Undang undang 45 tahun 2009 itu juga tetap mengacu kepada sebuah Peraturan Menteri, yang dimana Peraturan Menteri itu dari mulai 02-05 namun tidak juga menerapkan kepastian hukum terhadap para nelayan.”ungkapnya.
Akhirnya pada dimasa tahun 2016, dimasa kepemimpinan Presiden Jokowi itu mengangkat seorang menteri yang namanya ibu Susi Pudjiastuti Astuti yang melakukan terobosan yang ruhnya ingin mensejahterakan nelayan.
“Dibuat lah Permen 71 Tahun 2016, ditahun 2017 mulai lah Permen itu diterapkan, maka semenjak Permen itu diterapkan terjadilah kontradiktif terhadap para nelayan, yang dimana pada saat ini kita bercerita tentang alat tangkap yang salah, ribuan juga nelayan kecil itu sampai saat ini menggunakan alat tangkap yang salah yang dimana kemarin ibu menteri itu berjanji akan mengganti alat tangkap itu sendiri.”beber Rahman lagi.
Akibat Permen 71 ini terjadi kontradiktif yang menyeluruh, Pertama didalam Permen 71 itu, mengatur tentang zona tangkap, yang kedua mengatur tentang ukuran mata jaring, yang ketiga mengatur ukuran tarik selar, yang keempat mengatur tentang alat bantu penangkapan ikan seperti bola lampu, tetapi implementasi dilapangan terutama bagi kapal kapal berskala besar ini yang milik para pengusaha bermata sipit mayoritas di Selat Malaka ini mereka sangat pandai sekali memanuver, contoh disampaikan tadi sudah lah jelas alat tangkap trawl itu dilarang dari mulai tahun 1981 tapi mereka terus beroperasi dengan sebuah dengan sebuah manuver di tahun 1994 -1996, itu mereka membantu para nelayan kecil untuk ikut serta menggunakan alat tangkap seperti mereka, semenjak itulah ribuan nelayan juga menggunakan alat tangkap yang dimana alat tangkap itu sangat menguntungkan bagi para nelayan hasilnya sangat memuaskan namun kalau dikaji secara ilmiah, benar alat tangkap itu juga menghancurkan ekosistem laut dan bisa merugikan generasi penerus penerus nelayan yang akan datang. Tegas Rahman kembali.
Tapi hari ini harusnya pemerintah juga mengambil sikap yang pasti terapkan dulu penegakan hukum itu bagi para pengusaha pengusaha besar yang sampai saat ini yang kita duga bahwasanya banyak manipulasi manipulasi perizinan, katanya.
“Kita juga heran kapal-kapal besar ini juga berada di pelabuhan dimana pelabuhan-pelabuhan itu cukup full pengawas(penegak hukum) dan perizinan di situ seperti kita ambil contoh di pelabuhan Gabion Belawan di situ ada PSDKP(Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan) yang secara hukum sesuai undang-undang 45 tahun 2009 mereka adalah penyidik bisa melakukan penyidikan dari mulai Pelabuhan sampai batas WRPP 751(batas wilayah Indonesia)tapi hari ini yang kita heran kan pihak PSDKP selaku penyidik yang diperintahkan undang-undang sepertinya tumpul, kita lihatlah kapal-kapal trawl itu persis(jelas)berada posisinya di belakang kantor mereka tetapi penerapan hukum bagaimana, yang lucunya kita lagi mereka itu kalau patroli sampai ke wilayah timur ke Batu Bara, ke Sergai, Asahan bekerjasama dengan Dinas Perikanan yang ada juga pengawasannya, yang mereka tangkap hanya kapal-kapal nelayan kecil, yang sesuai dengan undang-undang kapal 5 GT kebawah baik undang-undang perlindungan nelayan nomor 7 tahun 2016 dan undang-undang 45 tahun 2009, nelayan kecil itu adalah nelayan yang kehidupannya sehari-hari melakukan penangkapan ikan untuk kebutuhan sehari-hari, Artinya mereka itu harus dilindungi dan disejahterakan kalau lah mereka itu pengguna alat tangkap yang salah dibina diganti alat tangkapnya tetapi hari ini penerapan bagi para pengguna kapal alat tangkap yang salah yang berskala besar ini ya kita bilang lah sangat miris!!!” Ungkap Rahman Gafiqi
“Yang menjadi polemik didalam permen 71 ini zona tangkap bagi nelayan kapal 10 GT itu ke bawah, itu 0 sampai 2 mil pertanyaan kita kalau 2 mil di Selat Malaka ini kan bisa dikata tak ada lagi kenapa bercerita tentang Selat Malaka hampir 80% lebih bibir pantai Selat Malaka itu telah menjadi hutan industri, yang mengakibatkan kerusakan ekosistem laut mulai dari pestisida, pupuk segala macamnya, itu akan jatuh ke laut, belum lagi industri – industri besar, yang berada pasti di bibir pantai, limbah mereka bagaimana, kalau kita cerita tentang aturan permen 71 tentang zona tangkap yang kedua kapal 5 GT sampai 10 GT itu beroperasi dari bibir pantai sampai 4 mil yang rancu nya lagi kapal 30 GT ke bawah dari 4 mil sampai 12 mil boleh melakukan penangkapan yang ketiga banyak juga dugaan yang kita yakini bahwasannya kita duga keras para pengusaha pengusaha nakal itu selalu melakukan penangkapan di 4 mil di 5 mil.di zona zona nelayan kecil.” Kata Rahman.
“Bercerita tentang pelaksanaan kegiatan proses penangkapan pertanyaannya kita mengapa ini bisa mendapatkan minyak kapal ini sebelum berangkat harus menggunakan minyak sementara rekomendasi minyak itu dikeluarkan oleh PPSB( Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan) dan PSDKP selaku stakeholder yang bertanggung jawab di bidang perikanan diPelabuhan Gabion Belawan. pertanyaannya bercerita tentang itu bagaimana mereka mendapatkan minyak pada kapal-kapal yang salah ini kalau dari beberapa statement PPSB dan PSDKP “kami tidak mengelola SLO dan SPB”. Pertanyaan kita kenapa mereka masih bisa melaut kenapa tidak ada penindakan yang pasti.apa Tupoksi PPSB dan PSDKP selaku dinas atau lembaga di bawah kementerian langsung tidak bisa melakukan penindakan baik itu masalah minyak, alat bantu, dan segala macam belum lagi masalah SIPI dan SIUP yang melibatkan Dinas Perikanan kota Medan ataupun Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara untuk kapal 30 GT ke bawah yang pernah kita sampaikan, itu kita sudah kirim surat ke Mentri, tapi implementasinya penerapan hukumnya rancu.semenjak pemilihan presiden kembali itu ada statement dari Kapolri agar seluruh nelayan jangan lagi ada istilah penangkapan-penangkapan. Pertanyaan kita hari ini kepada negara terutama bapak menteri bagaimana solusi yang pasti agar nelayan ini tidak lagi saling sikut menyikut, tidak lagi saling bentrok di dalam proses penangkapan ikan di laut harusnya pihak-pihak pemerintah selaku orang yang bertanggung jawab penuh baik itu yang dibawah kementrian ataupun yang di dinas provinsi dan penegakan hukumnya seperti Polairud dan angkatan Laut harus benar-benar bersinergi melakukan penerapan hukum kalau kita beracuan kepada hukum lakukan penerapan hukum itu dengan pasti jangan tebang pilih.”pungkas dia lagi.
Dan ia berharap, Dinas provinsi juga bertanggung jawab penuh terhadap 12 mil ke bawah sesuai dengan undang-undang otonomi daerah itu bahwasannya Dinas Perikanan itu mempunyai hak veto terhadap laut 12 mil ke bawah yang harusnya Kepala Dinas Perikanan itu mengambil alih kebijakan terkait permasalahan-permasalahan yang dihadapi para nelayan terutama di Sumatera Utara ini
“Kemarin kita contohkan pada tahun 2018 ada sekitar 18 para nelayan kecil terpidana menjalankan proses hukum yang rata-rata mereka terkena dari mulai 8 bulan sampai 2 tahun sementara kita bercerita mengenai undang-undang perlindungan nelayan nomor 7 tahun 2016 nelayan kecil itu adalah nelayan yang harus dibina dan disejahterakan tetapi hari ini mereka selalu dibinasakan, yang selalu bentrok itu adalah para nelayan kecil makanya kita bilang hari ini para pengusaha pengusaha nakal ini menari diatas penderitaan nelayan nelayan kecil yang kita sampaikan juga nelayan kecil ini adalah nelayan pribumi yang mereka adalah penguasa laut dan mereka adalah pahlawan gizi kalau mereka pengguna alat tangkap yang salah mari bina mereka ganti seluruh alat tangkap mereka buat solusi yang pasti.”ucapnya
“Kemarin juga para kawan-kawan di Belawan terutama Medan Utara berteriak trawl trawl, perjuangan itu rancu kan sudah saya bilang ada metode untuk merubah sistem ini mari sampaikan kepada kawan-kawan seluruh nelayan kecil mari kita blokade gabion itu karena sumber tirani kerusakan laut itu berada di gabion begitu kapal trawl berskala besar, itu adalah kapal kapal penghancur laut itu yang pasti barulah mereka mengakomodir beberapa nelayan kecil ini . yang lucunya kali para aparat penegak hukum baik aparat penegak hukum Dinas Perikanan Provinsi, PSDKP, Polairud dan Angkatan Laut, yang kita bilang tajamnya hanya kebawah tumpul keatas, kita duga ada mungkin kontribusi dilakukan oleh para pengusaha itu agar oknum aparat penegak hukum itu tutup mata.”katanya
“Kita harapkan hari ini bahwasanya di Gabion Belawan itu, mereka itu sebagian besar yang ada di gabion Belawan bukan nelayan tetapi buruh nelayan, bagaimana hari ini perhatian negara terhadap nasib mereka nelayan yang rata-rata mereka disana kalau kita bercerita tentang aturan undang-undang tenaga kerja mereka itu dibawah UMR (upah minimum regional), yang di mana kita taksir gaji mereka itu paling besar Rp 70.000 per hari yang dimana mereka melakukan pekerjaan itu 2 kali 24 jam, digaji cuma Rp 70.000, Rp 50.000 sampai Rp75.000 perhari, dimana perhatian negara saat ini baik itu dinas tenaga kerja, Dinas Perikanan provinsi Sumut, yang di mana mereka itu juga sampai saat ini kita duga tidak pernah mempunyai jaminan pekerjaan yang diberikan oleh pengusaha. yang kita harapkan hari ini pemerintah terkait yang membidangi nelayan ini, juga diduga itu para pengusaha di Gabion Belawan itu rata-rata tidak mempunyai badan hukum yang jelas dalam hal ini melakukan kegiatan penangkapan ikan, harusnya mereka itu harus berbentuk PT(Perseroan Terbatas, karena mereka telah memperkerjakan ribuan orang, tetapi hari ini mereka bisa berkamuflase menjadi seorang nelayan yang harusnya mereka itu sudah mempunyai badan hukum yang di mana bila mereka berbadan hukum harus bertanggung jawab terhadap pekerja yang mereka pekerjaan” ujar Rahman.
“Harusnya pemerintah ini berani bersikap seperti Dewi justicia dimana itulah Dewi hukum, mata tertutup tangan kiri memegang pedang tangan kanan memegang timbangan artinya tidak akan pernah memandang siapapun dalam hal melakukan kesalahan dan melakukan penerapan itu adil seadil-adilnya seperti timbangan itu, pedangnya akan menebas siapapun tanpa perlu memilah memilah, itu yang kita harapkan hari ini baik itu terhadap satuan tugas dibawah kementrian juga aparat penegak hukum baik itu Polairud dan Lantamal dan keterlibatan Dinas provinsi harus benar-benar bersinergi melakukan penerapan yang pasti barulah nelayan ini bisa sejahtera seperti di era 90-an.” Harap Gafiqi.
Terpisah akan hal itu awak media ini mengkonfirmasi melalui pesan singkat What’s app Kasubsi Pengawasan dan Penanganan Pelanggaran Stasiun (PSDKP) Belawan Josia Suarta Sembiring Terhadap penyampaian keseriusan Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan(KKP) bahwasanya Final pukat trawl tidak ada lagi diperairan Indonesia, khususnya perairan selat Malaka namun tak menuai hasil
Ketika wartawan meminta keterangan terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP)ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang diduga berkaitan dengan ekspor benih lobster atau benur, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat, Biro Hubungan Masyarakat Dan Kerja Sama Luar Negeri Desri Yanti, S.St.Pi, namun belum ada jawaban.,(jg,gs,red)
Komentar
Posting Komentar